Fenomena
nyeri timbul karena adanya kemampuan sistem saraf untuk mengubah berbagai
stimuli (mekanik, kimia, termal, elektris) menjadi potensial aksi yang
dijalarkan ke sistem saraf pusat (Kuntono, 2001).
a.
Produksi
dan transmisi nyeri (pain production and
transmission)
Nyeri
merupakan suatu mekanisme perlindungan yang menyadarkan seseorang untuk membuat
tanggap rangsang yang memadai guna mencegah kerusakan lebih lanjut dari
jaringan yang bersangkutan (Parjoto, 2006). Menurut Taxonomi Committee
International Association for Study of Pain (IASP) dikutip oleh Basuki (2009),
nyeri adalah suatu pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan baik yang aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Teori
nyeri mulanya menganggap nyeri sebagai sensasi melalui pain sensory system dari tempat rangsang ke kortek serebri,
persepsi nyeri berbanding lurus dengan kuat lemahnya rangsangan nosiseptif.
Dari penelitian ternyata nyeri tidak selalu proporsional dengan intensitas
rangang nosiseptif. Secara histologis ternyata pain sensory system belum pernah terbukti, melainkan yang ada
adalah nociceptive receptor system.
Beberapa jenis/tipe serabut saraf terlibat dalam mekanisme produksi dan
transmisi nyeri. Dari sinilah muncul teori kontrol gerbang menurut Melzack dan
Wall (Kuntono, 2001).
Secara
neuroanatomis sirkuit teori gerbang kontrol terdiri dari neuron sensorik
diameter besar (large fibers/A) dan
neuron diameter kecil (small fibers/C).
Pada sistem saraf mempunyai mekanisme untuk meninggikan atau menurunkan impuls
rangsang nosiseptif. Small fibers/C
dikenal sebagai serabut saraf halus tidak bermielin membuka jembatan hantaran (substansia gelantinosa/SG) sedangkan large fibers/A berfungsi menutup
jembatan hantaran. Interaksi kedua jenis saraf ini menentukan apakah nosiseptif
akan diteruskan atau tidak untuk diproses di otak (Kuntono, 2001)
Sampai
saat ini telah diketahui terdapat 3 kelompok neurotransmiter yaitu : (1) asam
amino, seperti GABA (gamma amino butyric
acid), glisin, L-glutamat, L-aspartat, (2) monoamin, seperti asetilkolin,
kotekolamin (norepineprin, epineprin dan dopamin), serotonin
(5-hidroksitriptamin), (3) neuropeptida, seperti peptida opoid (enkefalin,
endorfin, dinorfin, histamin, bradikinin, prostagladin, serotonin), substansi
P, VIP (vasoaktive intestinal polypeptide).
Melzack menyempurnakan teorinya lebih lanjut,dikatakan bahwa sistem saraf pusat
mempunyai pattern generating mechanisms.
Aktifitas abnormal ini dapat terjadi mulai dari kornu dorsalis sampai kortek
serebri dengan menciptakan pola impuls yang menghasilkan nyeri. Penyempurnaan
ini untuk menjelaskan beberapa fenomena yang tidak dapat diterangkan sebelumnya
seperti nyeri muncul meskipun tanpa nosiseptif di perifer ataupun nyeri yang
muncul setelah jalan saraf nosiseptif diputus (Kuntono, 2001).
b.
Transmisi
aferen nosiseptif di tanduk belakang
Sebagian
besar aferen primer akan melewati akar belakang dan berakhir pada sel yang
terletak di tanduk belakang masa abu-abu. Menjelang masuk kedalam medula
spinalis aferen dengan tipe yang sama akan membentuk kelompok. Serabut A delta
dan C akan berjalan melewati divisi lateral akar belakang dan akan melewati
beberapa segemen spinal didalam traktus lissauer sebelum masuk ke abu-abu.
Sejumlah aferen primer akan melalui divisi medial tanduk belakang dan masuk
secara langsung kedalam tanduk belakang. Meskipun sebagian besar aferen masuk
ke medula spinalis melewati akar belakang namun 20% dari neuron yang tidak
bermielin akan masuk ke medula spinalis melalui akar depan. Kelompok ini yang
diperkirakan mempunyai hubungan dengan masih terdapatnya rasa nyeri pada
penderita yang mendapatkan tindakan rizotomi dalam upaya mengatasi nyeri
(Kuntono, 2001).
Studi
histokimiawi dan elektrofisiologi menunjukkan bahwa terminasi aferen C berada
di lamina I dan lamina II medula spinalis. Terminasi aferen C di lamina III
masih ada tanda tanya. Aferen A delta mekanoreseptif diidentifikasikan berada
di lamina I, III, dan IV-V. Aferen Abeta dengan diameter besar mempunyai
hubungan langsung dengan lamina I dan II namun sebagian besar berakhir di
lamina III, IV dan V (Kuntono, 2001).
c.
Mekanisme
sentral dalam hubungannya dengan nyeri
Dua
katagori Second Order Neuron/SON yang
membentuk traktus asenden adalah spinotalamikus dan trigeminotalamikus dimana
traktus ini sering disebut sebagai wide
dynamic range neuron/ WDRN dan neuron nosiseptif spesifik/ NNS (Kuntono,
2001).
WDRN
dikenal sebagai sel T dalam teori kontrol gerbang. Badan selnya terletak di
lamina V tanduk belakang masa abu-abu. Neuron ini disebut dengan WDRN karena
menerima masukan dari beberapa sumber yaitu A beta dan C (Kuntono, 2001).
Gambar 2.5
Skema kategori SON (Kuntono,
2001)
A
: WDRN dengan masukan konvergen
neuron primer, terdiri dari : (1)
aferen C polimodal, (2) aferen A nosiseptor, (3) aferen A mekanoreseptor
B : Neuron nosiseptif khusus dengan masukan
yang berasal dari aferen A mekanoreseptor nilai ambang tinggi.
B2 : Neuron nosiseptif khusus dengan masukan
konvergen yang berasal dari neuron primer yang terdiri dari : (1) aferen C
polimodal, (2) aferen nosiseptif A
NNS
menerima masukan A delta aferen mekanoreseptor dan C aferen nosiseptif
polimodal. NNS dibagi menjadi neuron nosiseptif yang menanggapi rangsang
noksius mekanik dan neuron yang menanggapi rangsang yang intensitas tinggi,
tekanan yang tidak nyeri dan rangsang noksius (Kuntono, 2001).
WDRN
memberikan kontribusi dari aspek lokalisasi nyeri dan diskriminasi modalitas
(sentuh dan nyeri mekanik). Aktifasi WDRN menimbulkan perasaan seperti terbakar
atau seperti tertusuk jarum dengan lokaslisasi yang jelas. Sedang NNS merupakan
modalitas yang lebih spesifik yaitu memberikan informasi kepada SSP tentang
tipe spesifik dan lokasi stimulus noksius. Baik WDRN maupun NNS memberikan
sinyal intensitas nyeri. Aktifasi
didalam sel dapat berlangsung sampai ratusan milidetik. Aktifasi dapat
disebabkan oleh terlepasnya materi P dari akhiran WDRN (Kuntono, 2001).
Serabut
asenden atau WDRN dan NNS dari kuadran ventrolateral medula spinalis akan
diproyeksikan ke bagian medial formasio retikularis khususnya nukleus
gigantoselularis, lateral pons dan sentra area abu-abu. Kolateral tersebut
dinamakan proyeksi spinoretikularis. Dalam transmisi nyeri nukleus
gigantoselilaris (NGC) berfungsi sebagai nilai dalam sistem
spinoretikulotalamik. NGC akan berhubungan ini akan mengakibatkan sistem otonom
yang berlokasi di formasio retikularis. Hubungan ini yang mengakibatkan sistem
otonom juga menanggapi stimulus noksius. Oleh karena formasio retikularis
mempunyai hubungan dengan pusat otonom, struktur limbik dan hipotalamus maka
area tersebut dalam hubungannya dengan nyeri lebih berperan dalam hal komponen
otonom dan afektif (Kuntono, 2001).
Dari
proyeksi spinoretikularis diproyeksikan ke mesensepalon. Stimulasi listrik pada
regio medial periaqueductal gray/PAG
akan membangkitkan tanggap rangsang emosional seperti perasaan tidak enak dan
ketakutan. WDRN dan NNS diproyeksikan pada 3 nukleus utama talamus yaitu pada
nukleus ventrobasal, nukleus posterior dan nukleus intralaminer medialis.
Bebarapa neuron dalam kelompok ini hanya menanggapi rangsang secara eksklusif
terhadap masukan nosiseptif (Kuntono, 2001).
Untuk
selanjutnya dari talamus WDRN dan NNS diproyeksikan ke kortek oleh nukleus
talami posterior sehingga menerima masukan multisensori. Kortek mempunyai peran
dalam mekanisme nyeri yang terdiri dari dua tingkatan. Tingkat I adalah
diskriminasi sensori seperti lokalisasi, sedangkan tingkat II merupakan sistem
yang lebih kompleks yang berhubungan dengan tanggap rangsang afektif dan
motivasional serta membandingkan sensasi nyeri dengan pengalaman masa lampau
(Kuntono, 2001).
d.
Deregulasi
sistem motorik yang dapat menyebabkan rasa nyeri
Bila nosiseptor dirangsang oleh stimulus lokal yang
memenuhi syarat maka akan dijawab dengan pengeluaran mediator inflamasi
serta substansi lainnya sehingga menimbulkan nyeri. Salah satu mekanisme untuk
mencegah kerusakan atau lesi yang lebih berat adalah spasme otot (Meliala, 2003). Spasme
otot itu sendiri dapat menimbulkan nyeri. Pada umumnya otot-otot yang terlibat
adalah postural system. Stimulus
nosiseptif diterima oleh serabut-serabut aferen ke medula spinalis,
menghasilkan kontraksi beberapa otot akibat
spinal motor reflexes. Kontraksi otot tadi dapat menyebabkan nyeri, melalui
nosiseptor didalam otot dan tendon. Makin sering dan kuat nosiseptor tersebut
terstimulasi, makin kuat reflek aktifitas terhadap otot-otot tersebut. Hal ini
dapat meningkatkan rasa nyeri sehingga menimbulkan keadaan vicious cycle, kondisi ini akan diperburuk lagi dengan adanya
iskemik lokal, sebagai akibat dari kontraksi otot yang terus-menerus atau
mikrosirkulasi yang tidak adekuat sebagai akibat dari disgregulasi sistem simpatik
(Kuntono, 2001).
Gambar
2. 6
Physiological mechanisms of pain
in the muskuloskeletal system
(Kuntono, 2001)
Pada
gambar 2. 6, terlihat input serabut aferen dari organ viseral, kulit, tendon,
otot atau impuls dari otak yang turun ke spinal dapat mempengaruhi rangsangan
dari alpha dan gamma motorneuron yang berakibat kontraksi otot, misalnya
meningkatkan tonus otot dari otot-otot abdomen atau input nosiseptif dari
kapsul sendi akan dapat meningkatkan reflex
excitability dari beberapa otot antagonis yang bersangkutan dengan
pergerakan sendi tersebut sehingga hal ini dapat memblokir sendi tersebut,
disebut sebagai neurogenic block.
Pengaruh yang paling besar berasal dari otak, stress dan emosi dapat
mengakibatkan descending exitatory
pathways, sehingga merangsang peningkatan reflek dari otot-otot postural
punggung bawah terutama erector spine
(Kuntono, 2001).
Nyeri
dan spasme otot seringkali membuat individu takut menggunakan otot-otot
punggungnya untuk melakukan gerakan pada lumbal ( disuse otot-otot punggung bawah), selanjutnya akan menyebabkan
perubahan fisiologis pada otot-otot tersebut yaitu berkurangnya massa otot (atrophy) dan penurunan kekuatan otot,
akhirnya individu akan mengalami penurunan tingkat aktivitas fungsionalnya
(Hills, 2006). Jadi akibat NPB mekanik ini terjadi suatu lingkaran
setan antara nyeri, spasme otot, keterbatasan ROM, disuse, dan keterbatasan aktivitas fungsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar